Kisah Lucu Sekaligus Memalukan Karena Jahil Bahasa Arab

Kata Mutiara yang Dapat Dijadikan Pegangan Hidup
April 22, 2020
Contoh Pidato Bahasa Arab
April 22, 2020

Yaqut al-Hamawi bercerita:

قَالَ رَجُلٌ لِسَمَّاكٍ بِالْبَصْرَةِ: بِكَمْ هَذِهِ السَّمَكَةُ؟ قَالَ: بِدِرْهَمَانِ. فَضَحِكَ الرَّجُلُ، فَقَالَ السّمَّاكُ: وَيْلَكَ أَنْتَ أَحْمَقُ! سَمِعْتُ سِيْبَوَيْهَ يَقُوْلُ: ثَمَنُهَا دِرْهَمَانِ

“Seorang lelaki berkata kepada penjual ikan di Bashrah, ‘Berapa harga ikan-ikan ini?’ Dia menjawab, ‘Dua dirham.’ Lelaki itu tertawa, lalu si penjual ikan berkata, ‘Sialan kamu hai orang bodoh! Aku pernah mendengar Sibawaih berkata, ‘Harganya dua dirham!’”

Tidakkah Anda tertawa? Barangkali lelaki itu tertawa lagi. Sudah keliru dimarfu, ditambah berhujjah dengan perkataan Sibawaih yang dia salah dipahami lagi??? Allahul musta’an.

Dalam cerita lain, Yaqut al-Hamawi berkisah:

اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ النَّخَعِي فَقَالَ: أَبَا عِمْرَانَ فِي الدَّارِ؟ فَلَمْ يُجِبْهُ. فَقَالَ: أَبِي عِمْرَانَ فِي الدَّارِ؟ فَنَادَاهُ: قُلِ الثَّالِثَةَ وَادْخُلْ

“Seseorang meminta izin masuk kepada Ibrahim an-Nakha’i. Ia berkata, ‘Aba Imran ada di rumah?’ Ibrahim tidak menjawab. Ia berkata lagi, ‘Abi Imran ada di rumah?’ Ibrahim berkata, ‘Katakanlah yang ketiga –maksudnya Abu— dan masuklah.’”

Dalam kisah lain diriwayatkan bahwa al-Qasim bin Muhammad bin Bisyar al-Anbari berkata, “Mustamli Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bertugas menyampaikan ayat al-Qur`an dengan akurat. Ketika Abdullah bin Ahmad mendiktekan hadits tentang ayat:

Dia membacanya dengan marfu’ mendhammah huruf ta ( آيَاتُنَا), sehingga orang-orang tertawa dan majlis pun gaduh. Mustamli itu berkata, ‘Diam kalian!’ Lalu dia membacanya dengan menfathah ta (آيَاتَنَا).” Dia masih keliru, yang terbayang dalam benaknya manshub adalah dengan fathah, padahal tanda manshub untuk isim jama’ muannats salim adalah kasrah.

Dalam kisah lain diriwayatkan bahwa Abu Bakar bin Khallad berkata:

 “Abu Dawud ath-Thayalisi mendiktekan kepada kami hadits tentang ayat: (إِلَيْهِ يَصْعُدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ) tetapi dengan mengkasrah ‘ain. Maka, Ammar al-Mustamli berkata kepadanya, ’Wahai Abu Dawud, yang benar adalah: (يَرْفَعُهُ).’ Dia menjawab, ‘Memang seperti itu bila diwaqaf.’” [???]

Dalam kisah lain diriwayatkan bahwa Isma’il bin ash-Shalt berkata:

سَمِعْتُ عُثْمَانَ بِنْ أَبِي شَيْبَةَ يَقْرَأُ: وَاتَّبِعُواْ مَا تَتْلُواْ الشَّيَاطِيْنُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ فَقُلْتُ: «وَاتَّبَعُواْ» فَقَالَ: وَاتَّبِعُواْ، وَاتَّبِعُواْ

“Aku mendengar Utsman bin Abi Syaibah membaca: (وَاتَّبِعُواْ مَا تَتْلُواْ الشَّيَاطِيْنُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَان). Maka aku berkata, ‘(وَاتَّبَعُواْ).’ Dia menjawab, ‘(وَاتَّبِعُواْ), (وَاتَّبِعُواْ).’”

Ayat yang benar adalah yang datang dari Ismail, yaitu:

 “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.” Bila dibaca (وَاتَّبِعُواْ), maka artinya berubah, “Dan ikutilah …” Ini adalah bacaan yang keliru.

Jangan keburu meremahkan mereka, memang tiga kisah terakhir nampak sekali bahwa kesalahan mereka terdapat pada salah baca al-Qur`an. Seolah-olah orang masa kini lebih ahli dan mutqin (kokoh dan kuat hafalannya) daripada mereka, belum lagi bahasa mereka adalah bahasa Arab.

Perlu diketahui bahwa mushaf zaman dulu kosong dari titik dan harakat. Ketika banyak negeri-negeri yang ditaklukan dan banyak orang ajam yang masuk Islam, mereka kesulitan untuk membaca al-Qur`an. Barulah kemudian muncul gagasan dibubuhi titik dan harakat dan muncul pula ilmu rasmul utsmani tentang kaidah penulisan mushaf. Dari Abu Raja` Muhammad bin Saif, dia berkata:

سَأَلْتُ الْحَسَنَ عَنِ الْمُصْحَفِ يُنْقَطُ بِالْعَرَبِيَّةِ، قَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ أَوْ مَا بَلَغَكَ عَنْ كِتَابِ عُمَرَ أَنَّهُ كَتَبَ: تَعَلَّمُوا الْعَرَبِيَّةَ وَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَأَحْسِنُوا عِبَارَةَ الرُّؤْيَا؟

“Aku bertanya kepada al-Hasan tentang mushaf yang dibubuhi titik Arab, lalu dia menjawab, ‘Tidak masalah. Tidakkah sampai kepadamu kabar bahwa dalam salah satu surat Umar menulis, ‘Pelajarilah bahasa Arab, perdalamlah agama, dan perbaguslah dalam menta’birkan mimpi?’” Dalam riwayat Sa’id bin Manshur terdapat tambahan bahwa Ibnu Sirin berkata, “Hanya saja aku takut kalian menambah-nambah hurufnya.”

Dalam kisah lain diriwayatkan dari Salim dari ayahnya, dia berkata:

مَرَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عَلَى قَوْمٍ يَرْمُوْنَ رَشْقًا فَقَالَ: بِئْسَ مَا رَمَيْتُمْ! فَقَالُوْا: يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ! إِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْنَ. فَقَالَ: وَاللّٰهِ! لَذَنْبُكُمْ فِي لَحْنِكُمْ أَشَدُّ عَلَيَّ مِنْ لَحْنِكُمْ فِي رَمْيِكُمْ، سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: «رَحِمَ اللّٰهُ رَجُلاً أَصْلَحَ مِنْ لِسَانِهِ»

“Umar bin al-Khaththab pernah melewati suatu kaum yang sedang belajar memanah, lalu dia berkata, ‘Buruk sekali cara memanah kalian.’ Mereka menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin! Kami adalah kaum yang sedang belajar.’ Lalu Umar berkata, ‘Demi Allah! Sungguh kesalahan kalian dalam bahasa Arab lebih parah menurutku daripada kesalahan kalian dalam memanah. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga Allah merahmati seseorang yang membenahi bahasanya.’”

Seharusnya mereka mengatakan (إِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمُوْنَ) karena (مُتَعَلِّمُوْنَ) menjadi man’ût marfû’.

Dalam kisah lain diriwayatkan bahwa ar-Riyasyi berkata:

مَرَّ الْأَصْمَعِيُّ بِرَجُلٍ يَدْعُو وَيَقُولُ فِي دُعَائِهِ: يَا ذُوْ الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ! فَقَالَ لَهُ الْأَصْمَعِيُّ: يا هَذَا، مَا اسْمُكَ؟ فَقَالَ: لَيْثٌ، فَقَالَ الْأَصْمَعِيُّ: يُنَاجِي رَبَّهُ بِاللَّحْنِ لَيْثٌ لِذَاكَ إِذَا دَعَاهَ لَا يُجِيبُ

“Al-Ashma’i pernah melewati seseorang yang sedang berdoa dan di dalam doanya itu dia berkata, ‘Wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan!’ Lalu al-Ashma’i  berkata kepadanya, ‘Hai Bapak, siapa namamu?’ Dia menjawab, ‘Laits.’ Lalu al-Ashma’i berkata, ‘Laits bermunajat kepada Rabb-nya dengan lahn, oleh karena itulah setiap kali dia berdoa kepada-Nya tidak dikabulkan.’”

               Kisah lain diriwayatkan bahwa Abu Zaid an-Nahwi berkata:

كَانَ الَّذِي حَدَانِي عَلَى طَلَبِ الْأَدَبِ وَالنَّحْوِ أَنِّي دَخَلْتُ عَلَى جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ فَقَالَ: اِدْنِهْ! فَقُلْتُ: أَنَا دَنِي، فَقَالَ: لاَ تَقُلْ يَا بُنَيَّ أَنَا دَنِي وَلَكِنْ قُلْ أَنَا دَانٍ!

“Sesuatu yang memotivasiku untuk belajar adab dan nahwu adalah ketika aku masuk menemui Ja’far bin Sulaiman lalu dia berkata, ‘Mendekatlah!’ Aku menjawab, ‘Aku mendekat.’ Dia bekata, ‘Jangan katakan (أَنَا دَنِي) tetapi katakan (أَنَا دَانٍ).’”

               Abu Zaid telah keliru. Lafazh (الدَّانِي)  merupakan isim fâ’il manqûsh dari (دَنَا) artinya dekat. Karena ia isim manqûsh maka keadaan nakirahnya dengan membuang yâ lâzimah menjadi (دَانٍ), seperti firman Allah:

 “Dan masing-masing kaum memiliki seorang pemberi petunjuk.”

Masih ada lagi tiga kisah lucu nan memalukan. Semuanya berhubungan dengan al-Hasan al-Bashri seorang tabi’in senior ulama Bashrah dan ahli bahasa.

Diriwayatkan bahwa Huraits bin as-Sa`ib berkata:

شَهِدْتُ الْحَسَنَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا أَبُوْ سَعِيْدٍ! قَالَ: كَسْبُ الدَّوَانِيقِ شَغَلَكَ أَنْ تَقُوْلَ: يَا أَبَا سَعِيْدٍ!

“Aku pernah hadir saat al-Hasan didatangi seseorang lalu dia  berkata, ‘Hai Abu Sa’id!’ Dia menjawab, ‘Bagaimana kamu ini! Seharusnya kamu mengatakan, ‘Hai Aba Sa’id!’”

Yaqut al-Hamawi berkisah bahwa ada seseorang yang mengetuk pintu rumah al-Hasan al-Bahsri sambil berseru:

يَا أَبُوْ سَعِيْدٍ؟ فَلَمْ يُجِبْهُ، فَقَالَ: أَبِي سَعِيْدٍ؟ فَقَالَ الْحَسَنُ: قُلِ الثَّالِثَةَ وَادْخُلْ!

“Hai Abu Sa’id?” Namun, tidak dijawab. Dia berkata, “Abi Sa’id?” Lalu al-Hasan berkata, “Katakanlah yang ketiga –maksudnya Aba— dan masuklah.”

Abu Zaid an-Nahwi berkata:

قَالَ رَجُلٌ لِلْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ: مَا تَقُولُ فِي رَجُلٍ تَرَكَ أَبِيهِ وَأَخِيهِ؟ قَالَ الْحَسَنُ:  تَرَكَ أَبَاهُ وَأَخَاهُ. فَقَالَ الرَّجُلُ: فَمَا لِأَبَاهُ وَأَخَاهُ؟ فَقَالَ الْحَسَنُ: فَمَا لِأَبِيهِ وَأَخِيهِ. فَقَالَ الرَّجُلُ لِلْحَسَنِ: أَرَانِي كُلَّمَا تَابَعْتُكَ خَالَفْتَنِي

“Seseorang bertanya kepada al-Hasan al-Bashri, ‘Apa pendapat Anda tentang seseorang yang kabur meninggalkan ayahnya dan saudaranya?’ Al-Hasan menjawab, ‘Meninggalkan ayahnya dan saudaranya.’ Lelaki itu berkata, ‘Apa hukumnya dari ayahnya dan saudaranya?’ Al-Hasan berkata, ‘Apa hukumnya untuk ayahnya dan saudaranya.’ Akhirnya berkatalah lelaki itu kepada al-Hasan, ‘Aku melihat diriku setiap kali mengikutimu Anda justru menyelisihiku.’”